Posted By : Admin Firdauz Software
Dilema antara Pencerahan dan Penjara
Administrasi
(Sebuah Refleksi Terhadap Banyak Kegelisahan Pelaku Pendidikan Berdasar
Pengalaman Pribadi dan Tulisan-Tulisan Berserak Terkait Isu Pendidikan
Nasional)
Oleh : Imam Kambali, S.Ag
Pengajar dan Pecinta Sosiologi, MA Negeri Ngrambe
Ngawi Jawa Timur
Mencermati Kurikulum 2013 yang sedang getol menjadi PR besar pelaku pendidikan, bagi saya, kurang tepat. Alasanya karena saya adalah pelaksana dan bukan
pengambil keputusan. Guru adalah eksekutor dan bukan konseptor. Tulisan ini
lebih bersifat mengajak para praktisi pendidikan utamanya guru, ditengah
kesibukannya menyelesaikan tugas kedinasan, mencoba memberi ruang
bagi upaya memahami perubahan. Tulisan ini hanya diawali dari sebuah refleksi sederhana
ketika membaca yang terkait dengan seluk beluk kurikulum 2013. Sangat dangkal
memang, karena secara personal belum mendapatkan pelatihan atau pengimbasan
yang yang serius terkait kurikulum 2013 yang sebentar lagi secara institusional
baru akan diterapkan di tahu 2014.
Kurikulum
merupakan hal mendasar dalam Sistem Pendidikan Nasional kita. Karena memuat
ketentuan-ketentuan bagaimana pendidikan dijalankan oleh berbagai tingkat
satuan pendidikan. Perubahan-perubahan kurikulum yang telah dilakukan
pemerintah menunjukkan arah yang semakin jelas. Setidaknya secara konseptual
dapat dipahami demikian. Secara garis besar kurikulum diorientasikan untuk
menghasilkan out put yang memiliki kompetensi di bidangnya. Kita sering
menyebutnya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang telah disusun sejak 2004.
Perubahan setelahnya seperti KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan
yang terbaru Rancangan Kurikulum 2013 masih mengusung paradigma yang sama: kompetensi.
Apa yang menarik dari perubahan kurikulum 2013? Bagi guru, hampir tidak
menarik. Seperti iklan minuman, “apapun makanannya, minumnya teh…”. Apapun
kurikulumnya, pelaksananya guru juga. Bahkan sudah terbayang di depan mata,
kurikulum baru berarti membongkar perangkat mengajar lama dan menyusun yang
baru. Pekerjaan mudah sekaligus sulit bagi guru. Mudah menyusunnya tetapi sulit
mengalokasikan waktunya.
Perangkat
mengajar adalah materi-materi yang perlu dipersiapkan bagi yang menjalankan
profesinya sebagai guru. Berbagai aturan yang mengatur tentang perangkat
mengajar begitu luar biasa. Sebut saja PP No 19 Tahun 2005 tentang kewajiban
guru menyusun Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) serta
bagaimana proses penyusunan seharusnya dilakukan. Hebatnya peraturan itu
ditindaklanjuti Permendiknas No 20 Tahun 2007 yang begitu terperinci
menjelaskan komponen yang wajib ada dalam RPP. Serta masih banyak lagi
ketentuan-ketentuan lain yang saya yakin banyak guru tidak hafal nomornya
meskipun paham rincian tugasnya.
Di era
sertifikasi, perangkat menjadi acuan utama untuk mengukur kinerja guru sehingga
layak atau tidak menyandang gelar guru profesional dan mendapatkan tunjangan
sertifikasi. Menyusun perangkat mengajar yang detail dan bagus sebenarnya
adalah pekerjaan biasa namun saya tidak pernah menemukan guru yang seratus
persen (sesuai Permen) menyelesaikannya. Mengapa? Kita bisa bayangkan, jika
prajurit tentara yang sedang menghadapi musuh masih harus menyusun strategi dan
taktik perang sendiri, merumuskannya secara tertulis sesuai prosedur penulisan
tertentu, melaporkan hasil pelaksanaannya secara periodik secara tertulis,
menyusun program antisipasi kegagalan secara tertulis, dan seterusnya. Anda
pasti bertanya kapan perangnya berlangsung atau mungkin sudah bisa
memperkirakan musuh akan menang. Laporan yang baik boleh jadi telah
mengorbankan sukses di lapangan. Karena membuat perangkat yang sempurna
memerlukan waktu melampaui jam kerja sekolah.
Pada
hakikatnya guru bukan jenderal melainkan tentara. Menghadapi siswa di sekolah,
bagi guru, sebenarnya adalah pekerjaan paling mendesak sebagaimana tentara di
medan perang. Bukan waktu untuk berfikir dan menulis melainkan waktu untuk
mengeksekusi perintah-perintah sang jenderal. Bahkan banyak orang sepakat,
ditengah pertempuran tidak perlu demokrasi melainkan satu komando. Meski
tentara dan guru adalah profesi yang berbeda, semua pekerjaan tentu memiliki
konteks sosialnya. Memperlakukan pekerjaan guru tanpa memandang dunia sekolah
bisa mengancam tercapainya tujuan kurikulum pendidikan nasional.
Guru
seharusnya tidak sibuk membuat perangkat melainkan sibuk melaksanakan
perangkat. Pernyataan ini bukan upaya menghilangkan kewajiban yang sudah
melekat dalam profesi guru. Tetapi porsi pekerjaan konseptual yang seharusnya
dirumuskan para pakar hendaknya tidak dibebankan kepada guru. Bahwa guru harus
menyusun rencana pembelajaran yang sedetail dan selengkap mungkin, tentu.
Tetapi tugas para konseptor, para pakar dan pejabat pendidikan terkait perlu
lebih dirumuskan secara jelas dalam kurikulum. Sehingga kurikulum diharapkan
tidak menjadi penjara administrasi yang menempatkan guru sebagai “tukang ketik”
laporan. Sebaliknya, kurikulum harus menjadi kekuatan pencerah kepada guru
untuk lebih terampil dan profesional meski dalam keterbatasan.
Berkaitan
dengan tarik ulur tugas guru antara laporan dan pelayanan tampaknya Rancangan
Kurikulum 2013 telah mengisyafinya. Kita bisa membaca poin identifikasi
kesenjangan kurikulum yang membandingkan KTSP sekarang dengan Kurikulum 2013.
Saat ini buku materi ajar hanya memuat materi pelajaran bidang studi. Sedang
strategi belajar adalah wilayah guru untuk memikirkan, menyusun dan
melaksanakan. Padahal dalam kenyataan, guru tidak memiliki waktu yang cukup
untuk membaca teks-teks tentang metode belajar mutakhir, menganalisis indikator
pencapaian kompetensi yang sesuai dengan metode serta menyiapkan berbagai hal
berkaitan dengan pilihan metode. Mengapa untuk standar pelayanan minimal saja
guru sulit mewujudkan? Tentu hal ini bukan kesalahan guru secara individual.
Karena guru berada dalam konteks sosial bernama sekolah. Organisasi yang
semestinya memberi alokasi sumber daya bagi guru tetapi seringkali menyedot
energi guru untuk yang lain. Banyak sekali guru yang nyambi sebagai
bendahara, panitia pembangunan mushollah, membantu guru BK yang jumlahnya tidak
pernah sesuai kebutuhan, dan menambal lubang-lubang kekurangan sekolah yang
lain. Tentu saja yang tidak pernah terkait dengan kompetensi keilmuannya.
Memang
tidak semua sekolah mengalami kekurangan sumber daya manusia, tetapi sekolah
yang memiliki keterbatasan jumlahnya sangat mewakili wajah pendidikan
Indonesia. Sehingga tidak rasional bila tugas-tugas konseptual guru tidak
diambil alih oleh kurikulum pendidikan nasional. Salah satu dari sekian banyak
hal yang perlu di apresiasi dalam rancangan kurikulum tahun 2013 adalah tugas
pemerintah tidak terbatas pada penyiapan standar isi dan mata pelajaran
sebagaimana KTSP. Lebih dari itu pemerintah menyediakan seluruh komponen
kurikulum sampai buku teks dan pedoman. Yaitu pedoman yang memuat materi
pelajaran sekaligus bagaimana proses pembelajaran serta penilaian
dilakukan.
Upaya
memperluas jangkauan kewenangan pusat terhadap kurikulum pendidikan nasional
sangat penting bagi guru. Yang penting penyediaan konsep-konsep belajar ini
bersifat terbuka dan masih memberikan ruang bagi guru untuk melakukan inovasi
sesuai dengan tantangan sosialnya. Kita tunggu hasil kerja Pak Mentri
dengan para pakar pendidikan!
Dan Perlunya
Memahami Motivasi Siswa Menggunakan Media Sosial
Studi
motivasi merupakan studi mendasar yang sering digunakan oleh para ahli sosial
untuk memahami suatu masalah berkenaan dengan kecenderungan perilaku individu
atau kelompok. Penelitian mengenai motivasi siswa membangun pertemanan dengan
guru di media sosial dimaksudkan untuk memahami motif-motif atau faktor
pendorong siswa secara sukarela menjadikan akun gurunya sebagai bagian dalam
interaksi sosialnya di dunia maya.
Kajian
ilmiah mengenai guru-siswa dan media sosial di Indonesia belum banyak
dilakukan. Pertama, mungkin karena belum dianggap sebagai sebuah masalah
sosial. Kedua, hubungan pertemanan guru-siswa di jejaring sosial dianggap biasa
dan umum. Padahal di negara terbesar pengguna Facebook, Amerika Serikat, kajian
serupa merupakan persoalan yang telah menjadi perhatian publik. Sebagaimana ditulis Ryan
Lytle dalam artikelnya berjudul Student-Teacher
Social Media Restrictions Get Mixed Reactions, Some school districts have prohibited
social media contact between students and teachers. Menurut
Lytle meski hubungan antara guru-siswa bersifat positif dalam proses
pendidikan, namun Carole Lieberman, seorang psikiatris di Beverly Hills,
California, percaya bahwa media sosial merupakan pintu masuk adanya kasus
penyimpangan seksual dan hubungan gelap. Bahkan beberapa negara
bagian di AS memberikan batasan-batasan tertentu yang harus ditaati dalam
hubungan guru-siswa di media sosial.
Negara
Indonesia yang memiliki pengguna Facebook 35 juta jiwa, tentu perlu melakukan
antisipasi terhadap perkembangan masalah ini. Pertama, jumlah pengguna media
sosial di kalangan remaja termasuk siswa dimungkinkan terus akan bertambah.
Artinya berbagai dampak sosialnya juga akan mengalami peningkatan. Kedua,
secara khusus hubungan guru-siswa di jejaring sosial telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari kecenderungan perkembangan teknologi informasi di berbagai
sekolah.
Oleh
karena itu kajian-kajian ilmiah untuk mengurai interaksi antara siswa dan guru di
media sosial perlu dilakukan. Penelitian semacam ini akan memberikan gambaran
kepada berbagai pihak, utamanya para guru dan praktisi pendidikan lainnya,
orang tua siswa dan pemerintah untuk lebih memahami kecenderungan siswa di
media sosial. Melalui penelitian motivasi siswa berinteraksi dengan guru di
media sosial diharapkan semua pihak terkait dapat memberikan penyikapan yang
proporsional untuk menghindarkan adanya penyimpangan hubungan sosial. Para guru
dapat berperan menjadi teman sekaligus mentor dalam perkembangan siswa menuju
kedewasaan.
Semoga Menjadi Pencerah
Untuk Teman-Teman Pelaku Pendidikan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar